Monday, November 8, 2010

Tak Diberi Akta karena Lahir di Dukun
SURABAYA - SURYA-
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bersikukuh tak akan mengakui anak yang dilahirkan dengan bantuan dukun meskipun orangtuanya asli Surabaya. Buktinya, pemkot tak mengeluarkan akta kelahiran mereka.

Sebanyak tujuh orangtua dan sembilan anak, Kamis (21/10), menemui Asisten I Sekkota untuk meminta akta kelahiran. Selain asisten I, hadir juga Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, perwakilan Dinas Kesehatan, Bappemas dan KB, Dinas Pendidikan dan Biro Hukum.

Salah satu warga, Hosyiah yang memiliki tiga anak, salah satunya tidak mendapatkan akta karena lahir dibantu dukun, menyayangkan sikap pemkot tersebut. Padahal, dirinya melahirkan dengan bantuan dukun karena keadaan finansial.

”Anak saya tiga, yang satu tidak memiliki akta. Saya ke sini mau minta itu (akta),” kata Hosyiah sambil menggandeng anaknya.

Hosyiah bersama enam temannya datang ke pemkot ditemani Laili Nur Anisah, pendamping dari Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marjinal (LAPAM). Menurut Laili, para ibu di Surabaya yang melahirkan dengan bantuan dukun faktor karena besarnya masalah keuangan, kepercayaan bahwa bantuan dukun lebih nyaman dan mudah diakses.

”Kalau mereka tidak memiliki akta, maka akses untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan beberapa kebutuhan yang berkaitan dengan administrasi di lingkungannya akan terhambat,” jelas lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu.

Dari data warga yang didampingi, ada sekitar 66 anak di Kecamatan Semampir dan Simokerto yang tak memiliki akta. Padahal, menurut Laili, beberapa kota sudah menerapkan bahwa anak yang dilahirkan dengan bantuan dukun bisa mendapatkan akta. Seperti di Bogor, Garut, Jakarta, Malang, dan Padang. ”Mengapa di Surabaya dipersulit?,” katanya.

Laili juga menyayangkan sikap Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Surabaya yang menyatakan, untuk mendapatkan akta, anak-anak itu harus melalui jalur pengadilan, baru nanti dianggap legal.

”Jalur ini kan sulit. Kita sudah tahu, kalau lewat pengadilan membutuhkan biaya banyak, belum lagi permainan orang-orang pengadilan. Padahal, Ditjen Administaris Kependudukan sudah memperbolehkan lewat surat edarannya,” lanjut Laili.

Ia berharap, ke depan pemkot bisa melindungi anak-anak itu. Apalagi salah satu isi peraturan daerah (perda) yang sudah diajukan ke gubernur menyatakan, orang-orang yang tidak lengkap administrasi kependudukannya dimasukkan dalam ketentuan pidana. ”Kami berharap ada payung hukum dari pemkot,” paparnya.

Kepala Dinas Kependudukan dan pencatatan Sipil Surabaya, Kartika Indrayana menolak dikonfirmasi. Ia menyerahkan kepada Kasi Kelahiran Dispenduk Wardiyono. Sedangkan Wardiyono ketika dikonfirmasi juga menutup-tutupi informasi tersebut. ”Ke Pak Kartika saja,” katanya sambil nyelonong ke luar gedung.

Sementara itu, Aisten I Sekkota Hadisiswanto Anwar mengatakan, pihaknya bukan tak mau memberi akta, tapi sebaiknya perlu dikonsultasikan dulu ke Direktorat Administrasi Kependudukan. Menurut Hadi, surat edaran Ditjen Administrasi belum jelas, sehingga perlu diperjelas lagi. ”Mereka tidak memenuhi persyaratan (untuk mendapat akta). Kami butuh konsultasi dulu ke sana (ditjen) agar semuanya jelas,” kata Hadi.

Lebih lanjut, Hadi memaparkan, kewenangannya untuk mengeluarkan akta masih dibatasi oleh kewenangan pusat. Misalnya, persyaratan mengeluarkan akta.

”Kita berwenang mengeluarkan akta, tapi tidak 100 persen kewenangan itu. Ada kewenangan dari pusat,” ujarnya.iks