Friday, September 25, 2009

Syarat Administratif Hambat Anak Miskin Daftar Sekolah

Kamis, 3 Juli 2008 | 13:19 WIB

JAKARTA, KAMIS - Warga miskin korban penggusuran di beberapa wilayah DKI Jakarta kesulitan mendaftarkan anak mereka di SD negeri sekitar tempat tinggal mereka. Kendala administratif, seperti akta kelahiran, kartu keluarga, dan kartu tanda penduduk yang tidak dimiliki keluarga calon siswa membuat mereka ditolak saat pendaftaran.

"Penolakan siswa miskin di kantong-kantong daerah penggusuran terus terjadi setiap tahun. Mereka tidak memiliki surat-surat administratif penduduk karena tidak sanggup membayar biayanya. Tapi, yang diutamakan dalam kasus anak usia sekolah ini seharusnya hak anak itu," kata Fitri, Koordinator LAPAM di Jakarta, Kamis (3/7).

Menurut Fitri, ada sekitar 27 laporan yang diterima LAPAM. Kebanyakan anak usia sekolah di Kalibaru, Koja, dan Rawa Badak Selatan di daerah Jakarta Utara terhambat dalam penerimaan siswa baru karena tak punya akta lahir. Selain itu, daya tampung SD negeri di wilayah itu terbatas, sementara warga di sekitar umumnya miskin sehingga tidak mampu menyekolahkan anak mereka di sekolah swasta.

Ade Irawan, Koordinator Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch, mengatakan, seharusnya segala penghalang untuk anak usia wajib sekolah dihilangkan. "Terutama untuk pendidikan dasar, justru pemerintah harus bisa merangkul masyarakat miskin yang animonya mulai tinggi mengirim anak ke sekolah untuk bisa terlayani dengan baik," kata Ade.

Diambil dari :

http://regional.kompas.com/read/xml/2008/07/03/1319416/syarat.administratif.hambat.anak.miskin.daftar.sekolah

Hak Anak masih Dilanggar

Selasa, 21 Juli 2009 22:46 WIB
JAKARTA--MI: Hak anak untuk diakui sebagai warga negara masih terus dilanggar. Penyebabnya, upaya untuk memperoleh akte kelahiran sebagai syarat pengakuan tersebut telah menjadi komoditas jual beli oleh birokrasi maupun tenaga penolong persalinan.

Hasil penelitian Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal (LAPAM) pada Februari 2009 di 14 kelurahan di DKI Jakarta menunjukkan biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan akte kelahiran melalui kelurahan berkisar antara Rp35 ribu- Rp300 ribu. Sementara itu di bidan sekitar Rp75 ribu-Rp300 ribu. Bahkan jika terlambat, biaya tersebut bisa melambung menjadi jutaan rupiah.

Tingginya biaya tersebut lantaran untuk mengurus akta kelahiran anak warga harus melengkapi identitas lainnya seperti KTP, KK, surat nikah, surat keterangan lahir dan surat pengantar pemerintahan.

"Seluruh proses tersebut teorinya adalah gratis, namun dalam prakteknya warga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit,'' papar Fitrianiani Sunarto, Program Manager LPAM, di sela-sela diskusi Aku Juga Anak Indonesia yang ingin Diakui oleh Negara di Jakarta, Selasa (21/7).

Temuan kelompok tersebut diperkuat keluh kesah warga dalam diskusi tersebut. Ibu Sudirman, warga RW 06/07 Kelurahan Penjaringan, Jakrta Utara, misalnya mengaku harus mengeluarkan uang Rp300 ribu untuk membuat KK dan KTP saja setelah miliknya hangus terbakar. "Saya belum buat akte kelahiran. Baru KK dan KTP saja sudah mengeluarkan ratusan ribu," ujarnya.

Sementara itu Ibu Yulia, warga Rt 4/13, Kelurahan Penjaringan, mengatakan dari ketujuh anaknya hanya satu yang punya akte. "Habis tanya ke kelurahan katanya biayanya sampai satu juta. Duit dari mana saya," ujarnya.

Warga lainnya yang hadir dalam diskusi tersebut mengharapkan adanya perubahan peraturan supaya pembuatan identitas dan akta tidak rumit dan memberatkan mereka.

Fitrianiani mengatakan seharusnya pemerintah mempermudah proses pembuatan akte bukan malah dengan memberikan sanksi. Hal itu diungkapkannya mengacu pada Undang-Undang No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang mengharuskan warga yang terlambat mengurus akta untuk mengikuti sidang pengadilan yang dikenakan biaya hingga Rp1 juta. "Padahal hak anak itu dijamin oleh UU No 23 Tahun 2004," katanya.

Hal itu ditambah lagi dengan kurangnya sosialisasi sehingga banyak warga yang tidak mengetahui jika pembuatan akta sebenarnya gratis.

Kasudin Kependudukan dan Catatan Sipil Jakarta Utara Lukman Taher justru menyalahkan warga yang menurutnya tidak segera untuk mengurus akte begitu anaknya lahir. "Padahal biayanya gratis," ujarnya.

Sedangkan Kepala Bidang Pendaftaran Dinas Kependudukan DKI Jakarta Elzarman mengatakan jika ada pihak-pihak yang meminta uang dalam pengurusan, warga harus mencatat namanya dan melaporkannya. "Kami akan memberikan sanksi," katanya.

Namun ia mangatakan, bahwa proses pengadilan bagi warga yang terlambat mengurus akte merupakan ketentuan Undang-Undang yang tidak bisa diganggu gugat. (Hde/OL-03)

Diambil dari:
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/07/07/86364/92/14/Hak-Anak-masih-Dilanggar

Sekolah Gratis Dipertanyakan

Ilustrasi: "Tak ada itu sekolah gratis, yang ada pemerintah hanya masih memberi sebagian bantuan biaya sekolah untuk masyarakat," ujar Jamaluddin di Medan, Jumat (24/7).
Rabu, 5 Agustus 2009 | 19:05 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Penurunan anggaran pendidikan nasional dalam RAPBN 2010 dinilai menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah untuk membangun pendidikan. Meskipun persentase anggaran pendidikan nasional diklaim masih sebesar 20 persen dari APBN, anggaran pendidikan tersebut dinilai masih belum bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan karena akal-akalan untuk sekadar memenuhi amanat konstitusi.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat pemerhati pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Pendidikan di Jakarta menyatakan keprihatinan terhadap pendanaan pendidikan nasional yang masih belum sepenuh hati. Pemerintah menurunkan jumlah anggaran pendidikan dari Rp 207,41 triliun tahun ini menjadi Rp 201,93 triliun dalam RAPBN 2010.

Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo seusai pembukaan Jambore Usaha Kesehatan Sekolah Nasional II di Jakarta, Rabu (5/8), mengatakan bahwa yang penting pemerintah tetap memenuhi amanat konstitusi 20 persen dari APBN dalam anggaran pendidikan. "Jumlahnya sangat bergantung volume anggaran, bisa naik atau turun," kata Bambang.

Fitri Susanto, Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal, mengatakan, jika pemerintah konsisten untuk mewujudkan rencana strategis pendidikan yang sudah dibuat, anggaran pendidikan mestinya tidak bisa dipotong seenaknya. "Dalam tahun 2010, targetnya kan semua sekolah punya perpustakaan. Sebanyak 50 persen sekolah setidaknya harus sudah mencapai standar nasional. Jika anggaran pendidikan tahun 2010 justru turun, bagaimana mutu pendidikan kita," kata Fitri.

Jumono dari Aliansi Orang Tua Peduli Transparansi Dana Pendidikan mengatakan bahwa kenaikan anggaran pendidikan saja belum berdampak banyak pada beban orangtua dalam beban biaya pendidikan. Sekolah gratis belum dirasakan semua anak. "Jika anggaran pendidikan turun, jangan-jangan sekolah punya alasan untuk memungut lagi ke siswa," kata Jumono.

Roy Salam, Peneliti dari Indonesia Budget Center, mengatakan, setelah menelaah dokumen nota keuangan RAPBN 2010 dan RUU APBN 2010 yang dikeluarkan Departemen Keuangan, ada beberapa kejanggalan yang perlu dicermati masyarakat. Dari alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah yang disebutkan Rp 122,79 triliun, dari penelusuran ternyata hanya senilai Rp 28,28 triliun. Total alokasi di bagian belanja pemerintah pusat senilai Rp 79,13 triliun. "Jika temuan ini benar, anggaran pendidikan nasional hanya Rp 108,25 triliun atau sekitar 10,7 persen dari RAPBN 2010," kata Roy.

Kejanggalan lain yang ditemukan, kata Roy, dalam Bab IV halaman 119 dokumen Nota Keuangan tahun 2010 disebutkan, total anggaran Depdiknas sebesar Rp 51,79 triliun. Namun, di dalam penjelasan Pasal 21 ayat i RUU APBN 2010, total anggaran Depdiknas tahun 2010 hanya Rp 51,51 triliun.

Penurunan anggaran di Depdiknas yang tahun ini berjumlah Rp 61,52 triliun juga dinilai mengkhawatirkan. "Penuruan itu akan sangat berimplikasi pada penurunan belanja pendidikan yang berorientasi langsung pada peningkatan akses dan mutu pendidikan," kata Roy.

Ade Irawan, Koordinator Divisi Monitor Pelayanan Publik Indonesian Corruption Watch, mengatakan pemerintah jangan lagi menyiasati anggaran pendidikan supaya dianggap memenuhi amanat konstitusi. "Tetapi mesti serius membangun pendidikan dengan memenuhi kebutuhan anggaran untuk mencapai tujuan pendidikan," kata Ade.

Penurunan anggaran pendidikan bisa menyebabkan tidak tercapainya amanat konstitusi, terutama dalam merealisasikan sekolah gratis. Sebagai contoh, program wajib belajar tahun 2010, dana yang dialokasikan Rp 11 triliun untuk 27,6 juta siswa SD/setara, dan Rp 5,5 triliun untuk 9,6 juta siswa SMP/setara.

"Jika diasumsikan dana itu dibagikan kepada peserta didik, di tingkat SD hanya Rp 398.551/siswa/tahun, sedangkan di SMP Rp 572.917/siswa/tahun. Angka tersebut jauh dari kebutuhan faktual maupun ideal untuk merealisasikan sekolah gratis," kata Roy.


(ELN)

Diambil dari:
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/08/05/19051678/Sekolah.Gratis.Dipertanyakan

Turunnya Anggaran Pendidikan Dikhawatirkan Abaikan Konstitusi

Selasa, 04 Agustus 2009 | 17:58 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Turunnya anggaran Departemen Pendidikan Nasional di tahun 2010 dikhawatirkan tidak memenuhi amanat konstitusi, yakni UUD 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20/2003).

"Terutama yang berkaitan dengan ketentuan alokasi anggaran 20 persen," ujar Koordinator Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch Ade Irawan di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Selasa (4/8).

Presiden, ujar Ade, menyatakan tetap melanjutkan anggaran pendidikan 20 persen, tapi faktanya anggaran Departemen Pendidikan tahun ini hanya Rp 51,79 triliun, turun Rp 10,29 triliun dari tahun lalu. "Hanya 5,1 persen dari APBN," jelasnya.

Menurutnya, ketakutan terbesar adalah pemerintah tidak bisa mencapai tiga target utama dalam pendidikan, yakni perluasan akses, peningkatan mutu, dan perbaikan tata kelola.

Dalam hal perluasan akses, kata Ade, dikhawatirkan orang tua siswa akan diberi beban berupa sumbangan. Begitu pula peningkatan mutu, terutama dari segi infrastruktur seperti gedung, buku-buku, otomatis akan berkurang dananya. "Itu pun kalau 5,1 persen benar-benar dipakai semuanya," ujarnya.

Ia melihat Departemen banyak menghabiskan anggaran untuk menyewa konsultan atau untuk iklan di media massa. "Yang sayangnya, iklan muncul menjelang pemilihan," ujar Ade. Padahal, masyarakat butuh transparansi dan informasi menjelang penerimaan mahasiswa atau siswa baru.

Dalam kesempatan yang sama Program Officer Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal Fitri Sunarto menyayangkan turunnya anggaran ini. "Harusnya tahun ini justru yang paling besar, jika Departemen ingin mencapai semua targetnya," jelasnya.

Fitri menilai kalau tahun ini anggaran sudah mulai turun, maka ada kecenderungan tren ke depannya anggaran terus menurun. Tren ini terlihat dari rencana strategis Departemen yang justru lebih banyak untuk pencitraan publik daripada transparansi.

(DIANING SARI)

Diambil dari:

http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2009/08/04/brk,20090804-190764,id.html

Education Ministry Budget Cut Criticized

Kindergarten students wearing traditional clothing for a school celebration in Jakarta. Activists say the education budget will lead to more crumbling school buildings and unaffordable fees. (Photo: Safir Makki JG)

Education Ministry Budget Cut Criticized

The government’s proposed budget allocation for the Ministry of National Education is too small to significantly improve educational standards, activists said on Tuesday.

In the 2010 state budget proposal that President Susilo Bambang Yudhoyono presented to the House of Representatives on Monday, the government allocated Rp 201.9 trillion ($20.4 billion) to education, or approximately 20 percent of the total proposed 2010 state budget of Rp 1,009.5 trillion.

The Ministry of National Education will only receive Rp 51.8 trillion, however, with the remaining funds earmarked to finance educational initiatives in 15 other ministries.

“[The budget for the Education Ministry] is too small,” said Ade Irawan, public service monitoring coordinator at Indonesia Corruption Watch.

The ministry received Rp 62.1 trillion under the 2009 budget.

Ade said the funding cut would affect the ministry’s spending on educational development and access. “We’ll see more old school buildings collapse and parents will still be charged to send their children to school,” he said.

Fitri Sunarto, program officer for an organization that safeguards educational standards for poor children, said she was worried the government would continue to cut the ministry’s share of the budget. “I’m afraid that the 2009 education budget would end up being the biggest we ever got,” she said.

Education Minister Bambang Sudibyo on Monday said he would prioritize spending on compulsory educational programs and School Operational Aid (BOS).

Th e government allocated Rp 17 trillion to BOS, to be distributed to 40 million elementary and secondary students in 300,000 schools across the country.

Taken From:

http://thejakartaglobe.com/home/education-ministry-budget-cut-criticized/322174

Profil LAPAM

LAPAM adalah Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marjinal.

Visi LAPAM:
Terciptanya masyarakat kritis untuk mendorong kebijakan pendidikan yang berpihak pada masyarakat miskin dengan memegang nilai-nilai anti diskriminasi, anti kekerasan, keadilan, kemanusiaan, keadilan gender, demokratis dan partisipatif.

Program LAPAM:
1. Program Pengembangan Kelompok Orangtua Kritis.
2. Program Advokasi Kebijakan Pendidikan.
3. Program Kampanye dan Aksi Pemenuhan hak Dasar Pendidikan Anak.
4. Program Pengembangan Institusi dan Organisasi.

Hubungi LAPAM di:
Kantor Sekretariat LAPAM
Jl. Ciawi I No. 2 Blok Q Kebayoran Baru, Jakarta Selatan12180
Phone: (021) 3276363804
Email: lapam2007@gmail.com

Tuesday, May 26, 2009

Akta Kelahiran Gratis bagi Keluarga Tidak Mampu

29 April 2009 - 17:12 WIB
Kurniawan Tri Yunanto

VHRmedia, Jakarta – Warga miskin Jakarta dibebaskan dari persyaratan memiliki dokumen kependudukan untuk mengurus akta kelahiran. Masyarakat hanya perlu memiliki surat keterangan tidak mampu dari kelurahan setempat.

Kesepakatan ini dicapai dalam pertemuan Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal (LAPAM), Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, Kepala Suku Dinas Kependudukan se-DKI Jakarta, dan perwakilan pengadilan negeri di Jakarta, Rabu (29/4).
Program Officer LAPAM Fitri Sunarto mengatakan, 1.624 berkas permohonan akta kelahiran yang diajukan warga Jakarta dipermasalahkan. Sebanyak 495 berkas memerlukan penetapan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dan 74 berkas harus mendapat penetapan pengadilan negeri. “Banyak siswa di Jakarta yang tidak bisa diterima sekolah karena tidak mempunyai akta kelahiran.”
Semula para orang tua bersemangat mengurus akta kelahiran anak, meski terlambat. Namun, mereka mulai kehabisan akal ketika terbentur birokrasi. “Mereka (warga miskin) hidup di daerah rentan yang sering kebakaran dan kebanjiran. Sering kali kelengkapan surat mereka hilang karena kebakaran atau kebanjiran. Tapi, faktor utama adalah kendala mahalnya biaya mengurus dokumen-domumen tersebut,” ujar Fitri.
Kepala Sub-Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta Sudar Indopa mengatakan, pembuatan akta kelahiran tidak dipungut biaya. Aturan itu berdasarkan petunjuk Mahkamah Agung yang ditujukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Pengadilan mengusulkan agar dilengkapi surat keterangan tidak mampu melalui lurah dan camat, agar tidak terkena biaya.”
Menurut Sudar, jika pemohon akta kelahiran tidak dapat menunjukkan surat nikah, dalam penetapan di pengadilan akan disebutkan anak tersebut anak ibunya, bukan anak dari sepasang suami istri, atau anak hasil hubungan di luar nikah. “Tetap bisa dibantu, meski tidak punya surat nikah, KTP, atau KK. Jika KTP Jakarta tidak ada, bisa KTP daerah. Jadi, soal biaya dimungkinkan gratis, sepanjang ada surat keterangan tidak mampu.”
Bagi warga yang tidak memiliki surat kelahiran, pengurusan akta kelahiran dapat dipermudah jika disertai 2 saksi yang melihat proses kelahiran. “Tinggal dihadirkan saja ke pengadilan saksi atau orang yang melihat kelahiran. Intinya, berkas lengkap, semuanya akan diproses,” kata Sudar
Indopa. (E1)

Sulit Urus Akta Kelahiran, Warga Jakarta Lapor DPRD

VHRmedia, Jakarta – Warga Provinsi DKI Jakarta mengaku kesulitan mengurus akta kelahiran. Anak-anak yang tidak memiliki surat keterangan lahir tersebut akan kesulitan masuk sekolah.
Yati, warga RT 09 RW 07 Kelurahan Penjaringan, mengaku kesulitan menyekolahkan anaknya yang tidak memiliki akta kelahiran. “Mengurusnya (akta kelahiran) mahal dan ribet,” kata Yati ketika mengadu ke Komisi A DPRD DKI Jakarta, Senin (16/3).
Anak Yati dapat bersekolah setelah dibuatkan surat pernyataan lahir bermeterai. Surat pernyataan itu harus sepengetahuan dan persetujuan ketua RT, ketua RW, dan lurah. Namun belakangan ini sekolah kembali menanyakan akta kelahiran anaknya. “Setelah 2 tahun, minggu-minggu ini anak saya tidak mau masuk sekolah, karena ditanya akta kelahiran terus sama gurunya,” ujar Yati.
Firda, warga Kampung Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, merasa biaya membuat akta kelahiran sangat mahal. Dia kehilangan sejumlah surat penting, termasuk akta kelahiran, ketika rumahnya kebakaran. “Jika syarat membuat akta kelahiran tidak punya, dipungut biaya 800 ribu rupiah,” ujarnya.
Gloria Tamba, pendamping warga dari LBH Mawar Saron, mempertanyakan ketidakjelasan aturan pembuatan akta kelahiran. Berdasarkan UU Kependudukan dan UU Perlindungan Anak, pembuatan akta kelahiran tidak dipungut biaya. Namun, berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta, pembuatan akta lahir dipungut biaya. “Pemda punya tanggung jawab untuk mendata dan mengakomodasi kepentingan warga. Mana tanggung jawab pemerintah?” kata Gloria.
Samsidar Siregar, anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta, berjanji akan membawa masalah ini ke rapat komisi. Komisi akan mengeluarkan rekomendasi agar kepentingan masyarakat diprioritaskan dalam pembuatan akta kelahiran. “Perda kependudukan harus direvisi. Harus memenuhi apa yang diamanatkan undang-undang, sehingga tidak kontradiksi,” ujarnya.
Menurut Samsidar, masalah akta kelahiran di Jakarta muncul karena banyak pernikahan siri dan persalinan tidak melalui bidan. “Tapi, hal itu bisa diatasi dengan surat pernyataan di atas meterai bahwa pasangan telah menikah.”
Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal (LAPAM) menyebutkan, setidaknya 934 warga Kota Madya Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara, melapor kesulitan mengurus akta kelahiran

Tuesday, March 10, 2009

ADVOKASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN


Masalah pembiayaan pendidikan sudah umum terjadi di masyarakat, dimana kondisi ini dibiarkan oleh pemerintah dengan menerbitkan peraturan yang tidak berpihak pada masyarakat, diantaranya adalah PERMENDIKNAS nomor 2/2008 yang diberlakukan tanpa ada sosialisasi kepada pihak-pihak terkait. Para pendidik tidak siap saat PERMEN tersebut diberlakukan, hal ini terlihat dengan tumpang tindihnya pemakaian buku di sekolah dan juga masih adanya pendidik yang berupaya menjual buku ke anak didik. LAPAM dan teman-teman jaringan pendidikan lainnya menyikapinya dengan melakukan judicial review terhadap PERMEN tersebut dengan membentuk KITAB "koalisi independen advokasi buku".

Demikian juga dengan PP 48/2008, memunjukkan pemerintah lepas tanggung jawab atas pembiayaan pendidikan bagi masyrakat, terlihat dari Pasal 2
(1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(2) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat;
b. peserta didik, orang tua atau wali peserta didik; dan

c. pihak lain selain yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

Kondisi tersebut berakibat maraknya pungutan yang dilakukan oleh sekolah, sejak tahun 2007 LAPAM menerima ....pengaduan yang berkaitan dengan pungutan, penjualan buku oleh sekolah.

KAMPANYE DAN AKSI PEMENUHAN HAK DASAR PENDIDIKAN ANAK

Melalui program Kampanye dan Aksi Pemenuhan Hak Dasar Pendidikan Anak, LAPAM secara terus menerus menyuarakan ke publik bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasarnya dan negara membiayainya (UUD 1945, Amandemen III, pasal 31;2). Salah satu aksi di depan Makamah Agung berkaitan dengan tentang Judicial Review atas PERMENDIKNAS nomor 2/2008 yang dilakukan "KITAB" adalah melibatkan masyarakat untuk ikut menandatangi menolak buku mahal.

PENGEMBANGAN KOMUNITAS MASYARAKAT KRITIS

Sistem pendidikan yang telah kita jalani membentuk pola pikir masyarakat yang tidak kritis, hanya menerima keadaan tanpa berani mengemukan pendapat dan atau mengkritik.

Seperti yang selama ini terjadi di sekolah-sekolah, orangtua selalu memposisikan dirinya sebagai pihak yang di bawah "karena sudah menitipkan anaknya ke pendidik", sehingga menjadi pihak yang mudah ditindas. Pendidik dan atau sekolah demikian mudahnya melakukan diskriminasi, membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan anak didik. Struktur birokrasi pendidikan yang ada membiarkan hal tersebut terjadi.

Melalui program pengembangan komunitas masyarakat kritis ini, LAPAM melakukan pendampingan langsung ke komunitas dengan melakukan diskusi rutin bulanan komunitas, pembentukan kelompok-kelompok diskusi, pengkaderan dari komunitas, sehingga ke depannya secara mandiri masyarakat mampu dan berani mengkritisi kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat.