Monday, July 26, 2010

Ingin Dapat Akte? Jangan Melahirkan Di Dukun.

Gratis, Urus Akta Kelahiran di Dispendukcapil

Kalau ingin mendapatkan akta kelahiran, jangan sekali-kali bersalin di dukun. Sebab, akta hanya diberikan berdasar surat keterangan dari dokter, puskesmas, atau rumah sakit. Berdasar surat itulah Kantor Dispendukcapil menerbitkan akta kelahiran.
Perwakilan warga miskin dari Kelurahan Sidodadi, Simolawang, dan Ujung, mengadu ke DPRD Surabaya, karena kesulitan mendapatkan akta kelahiran. Padahal, akta ini menjadi syarat mendaftar di sekolah, pengurusan kartu keluarga, dan berbagai akses kependudukan yang penting lainnya. Mereka tidak bisa mendapatkan akta lahir karena bersalin lewat dukun serta tak punya KTP Surabaya.

Didampingi Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal (LAPAM), warga datang mengadu ke Komisi A DPRD Surabaya, Selasa (6/7). Mereka ditemui Armuji dan sejumlah anggota Komisi A lainnya. Dalam dengar pendapat terungkap bahwa akta kelahiran diterbitkan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) berdasar surat keterangan dokter, rumah sakit, atau puskesmas.

“Di Surabaya masih banyak warga yang menggunakan jasa dukun dalam persalinan. Mereka tidak bisa mendapat akta kelahiran, karena puskesmas hanya mau mengeluarkan surat keterangan, kecuali dari dukun binaan,” ujar Fitriani Sunarto, Program Manager LAPAM.

Menurut data LAPAM, dari tiga kelurahan saja terdapat 157 keluarga miskin yang tidak bisa memperoleh akte kelahiran bagi anak-anak mereka.

Kepala Dispendukcapil Surabaya Kartika Indrayana mengungkapkan, “Kami tidak bisa menerbitkan akta kelahiran berdasar rasa kasihan. Sebab, jika di kemudian hari ada implikasi hukum, kami yang disalahkan,” ujarnya.

Menurut Fitriani, sesuai dengan Perpres 25/2008 tentang Tatacara Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil, surat kelahiran bisa dikeluarkan dokter, bidan, maupun penolong kelahiran. “Jika dukun dikategorikan penolong kelahiran, kan bisa menerbitkan surat pernyataan di atas materai yang juga punya implikasi hukum,” jelas Fitriani.

Ny Sipah, 30, warga, menyatakan puskesmas menolak menerbitkan surat keterangan karena dia melahirkan dengan bantuan dukun. Dia juga mengeluhkan pungutan sebesar Rp 30.000 hingga Rp 50.000 setiap menghadapi staf puskesmas.

Anggota DPRD Surabaya Alfan Khusaeri meminta kepada pihak Dispenduk untuk mengintervensi lewat kebijakan keringanan biaya bagi warga miskin yang mengurus surat kependudukan. “Terhadap orang-orang yang sudah lama tidak punya akta juga harus diatur,” pinta Alfan.

Kartika menyatakan, pihak Dispendukcapil tidak memungut biaya atas penerbitan akta kelahiran, kecuali bagi yang terlambat mengurus. “Jika terlambat sampai 18 tahun ada denda Rp 100.000,” ujarnya.

Sumber : www.surya.co.id

Lahir di Dukun Tak dapat Akte

Gratis, Urus Akta Kelahiran di Dispendukcapil
SURABAYA - SURYA- Kalau ingin mendapatkan akta kelahiran, jangan sekali-kali bersalin di dukun. Sebab, akta hanya diberikan berdasar surat keterangan dari dokter, puskesmas, atau rumah sakit. Berdasar surat itulah Kantor Dispendukcapil menerbitkan akta kelahiran.
Perwakilan warga miskin dari Kelurahan Sidodadi, Simolawang, dan Ujung, mengadu ke DPRD Surabaya, karena kesulitan mendapatkan akta kelahiran. Padahal, akta ini menjadi syarat mendaftar di sekolah, pengurusan kartu keluarga, dan berbagai akses kependudukan yang penting lainnya. Mereka tidak bisa mendapatkan akta lahir karena bersalin lewat dukun serta tak punya KTP Surabaya.

Didampingi Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal (LAPAM), warga datang mengadu ke Komisi A DPRD Surabaya, Selasa (6/7). Mereka ditemui Armuji dan sejumlah anggota Komisi A lainnya. Dalam dengar pendapat terungkap bahwa akta kelahiran diterbitkan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) berdasar surat keterangan dokter, rumah sakit, atau puskesmas.

“Di Surabaya masih banyak warga yang menggunakan jasa dukun dalam persalinan. Mereka tidak bisa mendapat akta kelahiran, karena puskesmas hanya mau mengeluarkan surat keterangan, kecuali dari dukun binaan,” ujar Fitriani Sunarto, Program Manager LAPAM.

Menurut data LAPAM, dari tiga kelurahan saja terdapat 157 keluarga miskin yang tidak bisa memperoleh akte kelahiran bagi anak-anak mereka.

Kepala Dispendukcapil Surabaya Kartika Indrayana mengungkapkan, “Kami tidak bisa menerbitkan akta kelahiran berdasar rasa kasihan. Sebab, jika di kemudian hari ada implikasi hukum, kami yang disalahkan,” ujarnya.

Menurut Fitriani, sesuai dengan Perpres 25/2008 tentang Tatacara Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil, surat kelahiran bisa dikeluarkan dokter, bidan, maupun penolong kelahiran. “Jika dukun dikategorikan penolong kelahiran, kan bisa menerbitkan surat pernyataan di atas materai yang juga punya implikasi hukum,” jelas Fitriani.

Ny Sipah, 30, warga, menyatakan puskesmas menolak menerbitkan surat keterangan karena dia melahirkan dengan bantuan dukun. Dia juga mengeluhkan pungutan sebesar Rp 30.000 hingga Rp 50.000 setiap menghadapi staf puskesmas.

Anggota DPRD Surabaya Alfan Khusaeri meminta kepada pihak Dispenduk untuk mengintervensi lewat kebijakan keringanan biaya bagi warga miskin yang mengurus surat kependudukan. “Terhadap orang-orang yang sudah lama tidak punya akta juga harus diatur,” pinta Alfan.

Kartika menyatakan, pihak Dispendukcapil tidak memungut biaya atas penerbitan akta kelahiran, kecuali bagi yang terlambat mengurus. “Jika terlambat sampai 18 tahun ada denda Rp 100.000,” ujarnya. n ytz

Janji Kadispendukcapil

Kelana Kota

06 Juli 2010, 19:21:11| Laporan Noer Soetantini
Ratusan Warga Tak Berakte
Kadispendukcapil Janji Tidak Persulit Pengurusan

suarasurabaya.net| Seratus lima puluh lebih anak di Surabaya Utara dipastikan belum memiliki akte kelahiran sampai sekarang, Selasa (06/07). Temuan ini diungkap Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal (Lapam), yang mendampingi anak-anak dari keluarga kurang mampu di kawasan Surabaya Utara.

Selain itu, mereka juga menemukan indikasi pungutan liar, dengan dalih program satu jiwa satu pohon (Sajisapo), yang harus diganti dengan uang. Temuan itu terjadi di tiga kelurahan, diantaranya di Sidodadi, Simolawang dan Ujung.

Dengan temuan itu, KARTIKA INDRAYANA Kadispendukcapil Surabaya seperti dilaporkan TEGUH reporter Suara Surabaya, mengatakan, dinasnya tidak akan mempersulit warga dalam mengurus akte kelahiran.

Kalau memang data warga yang mengajukan pengurusan akte sudah lengkap, maka akte pasti akan diproses. Dan kalau mereka datanya tidak lengkap, pengurusan aktenya harus berdasar penetapan Pengadilan. Berikut penjelasan INDRA, [Audio On Demand] .

Sementara untuk anak yang lahir dengan bantuan dukun bayi, maka dukun itu juga harus memberikan keterangan tentang kelahiran si anak. Kalau tidak ada bukti otentik yang bisa menguatkan, maka anak tetap akan kesulitan mendapatkan akte.

“Karena data administratif kependudukan harus dibuat berdasar bukti otentik, bukan sekedar pengakuan,”pungkas INDRA. (tas/zee/tin)

Warga Surabaya, Susahnya Urus Akte

Warga Surabaya Keluhkan Sulitnya Urus Akta Kelahiran
Selasa, 06 Jul 2010 18:02:54| Sospol | Dibaca 120 kali
Surabaya - Puluhan warga di tiga kelurahan, yakni Kelurahan Simolawang, Ujung dan Sidodadi yang berada di Kecamatan Simokerto, Kota Surabaya, Selasa, mengadu ke DPRD Surabaya karena merasa dipersulit saat mengurus akta kelahiran.

Salah seorang warga Kelurahan Simolawang, Kecamatan Simokerto, Santi, mengaku hingga saat ini tiga anaknya belum memiliki akta kelahiran sehingga sulit untuk memasukkan anaknya ke sekolah negeri.

"Anak pertama saya sekolah di swasta, jadi tidak ada masalah. Tapi kalau saya mau menyekolahkan anak saya yang lain ke sekolah negeri itu yang menjadi masalah," kata Santi.

Warga yang mayoritas adalah para ibu itu mengeluhkan tentang sulitnya mengurus akta kelahiran bagi anak-anak mereka.

Penyebabnya bermacam-macam yakni ada yang karena tidak memiliki buku nikah sebab menikah siri, tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) atau tidak memiliki surat kelahiran yang dikeluarkan bidan, puskesmas atau rumah sakit (RS) setempat.

"Hampir 70 persen warga di sekitar saya tidak memiliki akta kelahiran untuk anak-anaknya," kata Santi.

Ia mengatakan selama ini tidak memiliki buku nikah karena sebelumnya ia telah menikah secara siri. Menurut dia, banyak keluarga yang sebelumnya juga menyepelekan tentang akte kelahiran.

Perwakilan Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal (LAPAM) Fitriani Sunarto mengatakan ada 157 anak di tiga kelurahan itu yang tidak memiliki akta kelahiran.

Ia mengatakan pula salah satu persoalan yang membuat anak tidak memiliki akta kelahiran adalah warga banyak yang tidak mampu untuk menyumbang pohon dalam program satu jiwa satu pohon (sajisapo).

"Mereka terkena pungutan yang mengatasnamakan program Sajisapo," kata Fitriani.

Di sisi lain perempuan ini juga menyatakan kendala tak kalah sulitnya adalah beberapa anak-anak saat lahir ditangani oleh dukun beranak. Padahal dukun beranak tidak bisa mengeluarkan surat keterangan kelahiran.

Meskipun dukun berani mengeluarkan surat pernyataan, pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) Kota Surabaya tidak bisa menerima surat itu.

Sementara itu, Kepala Dispenduk Capil Kota Surabaya Kartika Indrayana mengatakan pihaknya hanya bisa bertindak sesuai norma hukum. Ia menegaskan tidak berani keluar dari aturan.

"Bisa-bisa kalau ada masalah hukum, kami yang kena," katanya.

Ia juga menolak untuk memberikan kebijakan. Menurut Kartika, keterangan dukun memang tidak bisa, sebab sesuai perda yang diatur adalah surat keterangan dari bidan, puskesmas atau RS.

"Kami tidak bisa memberikan kebijakan hanya karena dasar kasihan," ujarnya.

Susahnya Mengurus Akte kKelahiran

Duh, Susahnya Mengurus Akte Kelahiran
Selasa, 6 Juli 2010 | 17:19 WIB
IGN Sawabi
Ilustrasi

SURABAYA, KOMPAS.com - Puluhan warga di tiga kelurahan, yakni Kelurahan Simolawang, Ujung dan Sidodadi yang berada di Kecamatan Simokerto, Kota Surabaya, Selasa (6/7/2010) mengadu ke DPRD Surabaya karena merasa dipersulit saat mengurus akta kelahiran.

Salah seorang warga Kelurahan Simolawang, Kecamatan Simokerto, Santi, mengaku hingga saat ini tiga anaknya belum memiliki akta kelahiran sehingga sulit untuk memasukkan anaknya ke sekolah negeri.

"Anak pertama saya sekolah di swasta, jadi tidak ada masalah. Tapi kalau saya mau menyekolahkan anak saya yang lain ke sekolah negeri itu yang menjadi masalah," kata Santi.

Warga yang mayoritas adalah para ibu itu mengeluhkan tentang sulitnya mengurus akta kelahiran bagi anak-anak mereka.

Penyebabnya bermacam-macam yakni ada yang karena tidak memiliki buku nikah sebab menikah siri, tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) atau tidak memiliki surat kelahiran yang dikeluarkan bidan, puskesmas atau rumah sakit (RS) setempat.

"Hampir 70 persen warga di sekitar saya tidak memiliki akta kelahiran untuk anak-anaknya," kata Santi.

Ia mengatakan selama ini tidak memiliki buku nikah karena sebelumnya ia telah menikah secara siri. Menurut dia, banyak keluarga yang sebelumnya juga menyepelekan tentang akte kelahiran.

Perwakilan Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal (LAPAM) Fitriani Sunarto mengatakan ada 157 anak di tiga kelurahan itu yang tidak memiliki akta kelahiran.

Ia mengatakan pula salah satu persoalan yang membuat anak tidak memiliki akta kelahiran adalah warga banyak yang tidak mampu untuk menyumbang pohon dalam program satu jiwa satu pohon (sajisapo).

"Mereka terkena pungutan yang mengatasnamakan program Sajisapo," kata Fitriani.

Di sisi lain perempuan ini juga menyatakan kendala tak kalah sulitnya adalah beberapa anak-anak saat lahir ditangani oleh dukun beranak. Padahal dukun beranak tidak bisa mengeluarkan surat keterangan kelahiran.

Meskipun dukun berani mengeluarkan surat pernyataan, pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) Kota Surabaya tidak bisa menerima surat itu.

Sementara iitu, Kepala Dispenduk Capil Kota Surabaya Kartika Indrayana mengatakan pihaknya hanya bisa bertindak sesuai norma hukum. Ia menegaskan tidak berani keluar dari aturan.

"Bisa-bisa kalau ada masalah hukum, kami yang kena," katanya.

Ia juga menolak untuk memberikan kebijakan. Menurut Kartika, keterangan dukun memang tidak bisa, sebab sesuai perda yang diatur adalah surat keterangan dari bidan, puskesmas atau RS.

"Kami tidak bisa memberikan kebijakan hanya karena dasar kasihan," ujarnya.