Monday, November 8, 2010

Tak Diberi Akta karena Lahir di Dukun
SURABAYA - SURYA-
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bersikukuh tak akan mengakui anak yang dilahirkan dengan bantuan dukun meskipun orangtuanya asli Surabaya. Buktinya, pemkot tak mengeluarkan akta kelahiran mereka.

Sebanyak tujuh orangtua dan sembilan anak, Kamis (21/10), menemui Asisten I Sekkota untuk meminta akta kelahiran. Selain asisten I, hadir juga Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, perwakilan Dinas Kesehatan, Bappemas dan KB, Dinas Pendidikan dan Biro Hukum.

Salah satu warga, Hosyiah yang memiliki tiga anak, salah satunya tidak mendapatkan akta karena lahir dibantu dukun, menyayangkan sikap pemkot tersebut. Padahal, dirinya melahirkan dengan bantuan dukun karena keadaan finansial.

”Anak saya tiga, yang satu tidak memiliki akta. Saya ke sini mau minta itu (akta),” kata Hosyiah sambil menggandeng anaknya.

Hosyiah bersama enam temannya datang ke pemkot ditemani Laili Nur Anisah, pendamping dari Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marjinal (LAPAM). Menurut Laili, para ibu di Surabaya yang melahirkan dengan bantuan dukun faktor karena besarnya masalah keuangan, kepercayaan bahwa bantuan dukun lebih nyaman dan mudah diakses.

”Kalau mereka tidak memiliki akta, maka akses untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan beberapa kebutuhan yang berkaitan dengan administrasi di lingkungannya akan terhambat,” jelas lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu.

Dari data warga yang didampingi, ada sekitar 66 anak di Kecamatan Semampir dan Simokerto yang tak memiliki akta. Padahal, menurut Laili, beberapa kota sudah menerapkan bahwa anak yang dilahirkan dengan bantuan dukun bisa mendapatkan akta. Seperti di Bogor, Garut, Jakarta, Malang, dan Padang. ”Mengapa di Surabaya dipersulit?,” katanya.

Laili juga menyayangkan sikap Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Surabaya yang menyatakan, untuk mendapatkan akta, anak-anak itu harus melalui jalur pengadilan, baru nanti dianggap legal.

”Jalur ini kan sulit. Kita sudah tahu, kalau lewat pengadilan membutuhkan biaya banyak, belum lagi permainan orang-orang pengadilan. Padahal, Ditjen Administaris Kependudukan sudah memperbolehkan lewat surat edarannya,” lanjut Laili.

Ia berharap, ke depan pemkot bisa melindungi anak-anak itu. Apalagi salah satu isi peraturan daerah (perda) yang sudah diajukan ke gubernur menyatakan, orang-orang yang tidak lengkap administrasi kependudukannya dimasukkan dalam ketentuan pidana. ”Kami berharap ada payung hukum dari pemkot,” paparnya.

Kepala Dinas Kependudukan dan pencatatan Sipil Surabaya, Kartika Indrayana menolak dikonfirmasi. Ia menyerahkan kepada Kasi Kelahiran Dispenduk Wardiyono. Sedangkan Wardiyono ketika dikonfirmasi juga menutup-tutupi informasi tersebut. ”Ke Pak Kartika saja,” katanya sambil nyelonong ke luar gedung.

Sementara itu, Aisten I Sekkota Hadisiswanto Anwar mengatakan, pihaknya bukan tak mau memberi akta, tapi sebaiknya perlu dikonsultasikan dulu ke Direktorat Administrasi Kependudukan. Menurut Hadi, surat edaran Ditjen Administrasi belum jelas, sehingga perlu diperjelas lagi. ”Mereka tidak memenuhi persyaratan (untuk mendapat akta). Kami butuh konsultasi dulu ke sana (ditjen) agar semuanya jelas,” kata Hadi.

Lebih lanjut, Hadi memaparkan, kewenangannya untuk mengeluarkan akta masih dibatasi oleh kewenangan pusat. Misalnya, persyaratan mengeluarkan akta.

”Kita berwenang mengeluarkan akta, tapi tidak 100 persen kewenangan itu. Ada kewenangan dari pusat,” ujarnya.iks

Wednesday, August 25, 2010

Aku Senang Membaca

Namaku wulan, usiaku 6 tahun dan saat ini aku duduk dibangku kelas 1 SD. Orangtuaku seorang pedagang tapi bukan pedagang besar hanya pedagang kecil. Setiap hari ibuku membuka warung kecilnya didepan kontrakan kami. Ibuku berjualan es, jajanan kecil yang setiap hari pembelinya hanya anak-anak disekitar rumahku. Hasilnya sih tidak banyak hanya cukup untuk membeli makan setip harinya. Karena setiap hari ibuku sibuk berdagang, jadinya dia tidak punya waktu untuk mengajariku belajar bahkan untuk membacakan buku ataupun dongeng untukku. Mungkin bukan karena dia sibuk tetapi mungkin juga karena ibuku kurang pintar dalam membaca karena aku tidak pernah melihatnya membaca buku. Atau apakah karena dia sudah jadi orangtua makanya tidak perlu membaca? Aku kurang tahu tentang itu.Tetapi aku beda dengan ibuku. Aku suka membaca, tapi buku cerita dan buku dongeng tentang cerita putri-putri yang cantik. Aku ingin seperti mereka, mereka cantik dan pintar-pintar. Karna itu aku ingin sekali jadi pintar. Tapi Ibuku tidak punya cukup uang untuk membelikan buku-buku yang kuinginkan. Didekat rumahku ada perpustakaaan kecil, namanya Warung Buku Anak Negeri. Namanya lucu karna perpustakaannya kecil karna terbuat dari gerobak. Aku dan teman-temanku senang sekali ada warung buku didekat rumah kami. Kami meminjam buku disana dan membaca semua bukunya tapi hanya buku ceritanya saja karna buku yang lainnya aku belum mengerti apa maksudnya. Mungkin itu buku orang besar bukan untuk anak kecil. Tetapi aku dan temanku sedikit sedih karna buku di warung tidak ada yang baru lagi. Aku dan temanku ingin buku cerita yang baru tapi katanya belum ada.Kata ibu yang jaga warung sabar ya, ntar kita cari lagi buku cerita yang baru. Wah asyik sekali ya kalau punya buku baru lagi. kapan ya? Kami sudah ingin sekali membaca buku cerita yang baru. Tapi bagaimana caranya? Teman-teman dan kakak-kakak ada yang bersedia membantu tidak, meminjamkan bukunya ataupun menyumbangkannya untuk kami. Kami tidak harus membaca buku yang baru, buku yang tidak dipakai lagipun kami akan sangat senang menerimanya. Kami akan sangat sangat berterimakasih kalau kakak-kakak sekalian mau menyumbangkannya. Dan terimakasih sudah membaca ceritaku ini. Sekian dulu cerita ku kali ini yah, Terimakasih semuanya. ( Cerita anak Negeri)

Monday, July 26, 2010

Ingin Dapat Akte? Jangan Melahirkan Di Dukun.

Gratis, Urus Akta Kelahiran di Dispendukcapil

Kalau ingin mendapatkan akta kelahiran, jangan sekali-kali bersalin di dukun. Sebab, akta hanya diberikan berdasar surat keterangan dari dokter, puskesmas, atau rumah sakit. Berdasar surat itulah Kantor Dispendukcapil menerbitkan akta kelahiran.
Perwakilan warga miskin dari Kelurahan Sidodadi, Simolawang, dan Ujung, mengadu ke DPRD Surabaya, karena kesulitan mendapatkan akta kelahiran. Padahal, akta ini menjadi syarat mendaftar di sekolah, pengurusan kartu keluarga, dan berbagai akses kependudukan yang penting lainnya. Mereka tidak bisa mendapatkan akta lahir karena bersalin lewat dukun serta tak punya KTP Surabaya.

Didampingi Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal (LAPAM), warga datang mengadu ke Komisi A DPRD Surabaya, Selasa (6/7). Mereka ditemui Armuji dan sejumlah anggota Komisi A lainnya. Dalam dengar pendapat terungkap bahwa akta kelahiran diterbitkan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) berdasar surat keterangan dokter, rumah sakit, atau puskesmas.

“Di Surabaya masih banyak warga yang menggunakan jasa dukun dalam persalinan. Mereka tidak bisa mendapat akta kelahiran, karena puskesmas hanya mau mengeluarkan surat keterangan, kecuali dari dukun binaan,” ujar Fitriani Sunarto, Program Manager LAPAM.

Menurut data LAPAM, dari tiga kelurahan saja terdapat 157 keluarga miskin yang tidak bisa memperoleh akte kelahiran bagi anak-anak mereka.

Kepala Dispendukcapil Surabaya Kartika Indrayana mengungkapkan, “Kami tidak bisa menerbitkan akta kelahiran berdasar rasa kasihan. Sebab, jika di kemudian hari ada implikasi hukum, kami yang disalahkan,” ujarnya.

Menurut Fitriani, sesuai dengan Perpres 25/2008 tentang Tatacara Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil, surat kelahiran bisa dikeluarkan dokter, bidan, maupun penolong kelahiran. “Jika dukun dikategorikan penolong kelahiran, kan bisa menerbitkan surat pernyataan di atas materai yang juga punya implikasi hukum,” jelas Fitriani.

Ny Sipah, 30, warga, menyatakan puskesmas menolak menerbitkan surat keterangan karena dia melahirkan dengan bantuan dukun. Dia juga mengeluhkan pungutan sebesar Rp 30.000 hingga Rp 50.000 setiap menghadapi staf puskesmas.

Anggota DPRD Surabaya Alfan Khusaeri meminta kepada pihak Dispenduk untuk mengintervensi lewat kebijakan keringanan biaya bagi warga miskin yang mengurus surat kependudukan. “Terhadap orang-orang yang sudah lama tidak punya akta juga harus diatur,” pinta Alfan.

Kartika menyatakan, pihak Dispendukcapil tidak memungut biaya atas penerbitan akta kelahiran, kecuali bagi yang terlambat mengurus. “Jika terlambat sampai 18 tahun ada denda Rp 100.000,” ujarnya.

Sumber : www.surya.co.id

Lahir di Dukun Tak dapat Akte

Gratis, Urus Akta Kelahiran di Dispendukcapil
SURABAYA - SURYA- Kalau ingin mendapatkan akta kelahiran, jangan sekali-kali bersalin di dukun. Sebab, akta hanya diberikan berdasar surat keterangan dari dokter, puskesmas, atau rumah sakit. Berdasar surat itulah Kantor Dispendukcapil menerbitkan akta kelahiran.
Perwakilan warga miskin dari Kelurahan Sidodadi, Simolawang, dan Ujung, mengadu ke DPRD Surabaya, karena kesulitan mendapatkan akta kelahiran. Padahal, akta ini menjadi syarat mendaftar di sekolah, pengurusan kartu keluarga, dan berbagai akses kependudukan yang penting lainnya. Mereka tidak bisa mendapatkan akta lahir karena bersalin lewat dukun serta tak punya KTP Surabaya.

Didampingi Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal (LAPAM), warga datang mengadu ke Komisi A DPRD Surabaya, Selasa (6/7). Mereka ditemui Armuji dan sejumlah anggota Komisi A lainnya. Dalam dengar pendapat terungkap bahwa akta kelahiran diterbitkan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) berdasar surat keterangan dokter, rumah sakit, atau puskesmas.

“Di Surabaya masih banyak warga yang menggunakan jasa dukun dalam persalinan. Mereka tidak bisa mendapat akta kelahiran, karena puskesmas hanya mau mengeluarkan surat keterangan, kecuali dari dukun binaan,” ujar Fitriani Sunarto, Program Manager LAPAM.

Menurut data LAPAM, dari tiga kelurahan saja terdapat 157 keluarga miskin yang tidak bisa memperoleh akte kelahiran bagi anak-anak mereka.

Kepala Dispendukcapil Surabaya Kartika Indrayana mengungkapkan, “Kami tidak bisa menerbitkan akta kelahiran berdasar rasa kasihan. Sebab, jika di kemudian hari ada implikasi hukum, kami yang disalahkan,” ujarnya.

Menurut Fitriani, sesuai dengan Perpres 25/2008 tentang Tatacara Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil, surat kelahiran bisa dikeluarkan dokter, bidan, maupun penolong kelahiran. “Jika dukun dikategorikan penolong kelahiran, kan bisa menerbitkan surat pernyataan di atas materai yang juga punya implikasi hukum,” jelas Fitriani.

Ny Sipah, 30, warga, menyatakan puskesmas menolak menerbitkan surat keterangan karena dia melahirkan dengan bantuan dukun. Dia juga mengeluhkan pungutan sebesar Rp 30.000 hingga Rp 50.000 setiap menghadapi staf puskesmas.

Anggota DPRD Surabaya Alfan Khusaeri meminta kepada pihak Dispenduk untuk mengintervensi lewat kebijakan keringanan biaya bagi warga miskin yang mengurus surat kependudukan. “Terhadap orang-orang yang sudah lama tidak punya akta juga harus diatur,” pinta Alfan.

Kartika menyatakan, pihak Dispendukcapil tidak memungut biaya atas penerbitan akta kelahiran, kecuali bagi yang terlambat mengurus. “Jika terlambat sampai 18 tahun ada denda Rp 100.000,” ujarnya. n ytz

Janji Kadispendukcapil

Kelana Kota

06 Juli 2010, 19:21:11| Laporan Noer Soetantini
Ratusan Warga Tak Berakte
Kadispendukcapil Janji Tidak Persulit Pengurusan

suarasurabaya.net| Seratus lima puluh lebih anak di Surabaya Utara dipastikan belum memiliki akte kelahiran sampai sekarang, Selasa (06/07). Temuan ini diungkap Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal (Lapam), yang mendampingi anak-anak dari keluarga kurang mampu di kawasan Surabaya Utara.

Selain itu, mereka juga menemukan indikasi pungutan liar, dengan dalih program satu jiwa satu pohon (Sajisapo), yang harus diganti dengan uang. Temuan itu terjadi di tiga kelurahan, diantaranya di Sidodadi, Simolawang dan Ujung.

Dengan temuan itu, KARTIKA INDRAYANA Kadispendukcapil Surabaya seperti dilaporkan TEGUH reporter Suara Surabaya, mengatakan, dinasnya tidak akan mempersulit warga dalam mengurus akte kelahiran.

Kalau memang data warga yang mengajukan pengurusan akte sudah lengkap, maka akte pasti akan diproses. Dan kalau mereka datanya tidak lengkap, pengurusan aktenya harus berdasar penetapan Pengadilan. Berikut penjelasan INDRA, [Audio On Demand] .

Sementara untuk anak yang lahir dengan bantuan dukun bayi, maka dukun itu juga harus memberikan keterangan tentang kelahiran si anak. Kalau tidak ada bukti otentik yang bisa menguatkan, maka anak tetap akan kesulitan mendapatkan akte.

“Karena data administratif kependudukan harus dibuat berdasar bukti otentik, bukan sekedar pengakuan,”pungkas INDRA. (tas/zee/tin)

Warga Surabaya, Susahnya Urus Akte

Warga Surabaya Keluhkan Sulitnya Urus Akta Kelahiran
Selasa, 06 Jul 2010 18:02:54| Sospol | Dibaca 120 kali
Surabaya - Puluhan warga di tiga kelurahan, yakni Kelurahan Simolawang, Ujung dan Sidodadi yang berada di Kecamatan Simokerto, Kota Surabaya, Selasa, mengadu ke DPRD Surabaya karena merasa dipersulit saat mengurus akta kelahiran.

Salah seorang warga Kelurahan Simolawang, Kecamatan Simokerto, Santi, mengaku hingga saat ini tiga anaknya belum memiliki akta kelahiran sehingga sulit untuk memasukkan anaknya ke sekolah negeri.

"Anak pertama saya sekolah di swasta, jadi tidak ada masalah. Tapi kalau saya mau menyekolahkan anak saya yang lain ke sekolah negeri itu yang menjadi masalah," kata Santi.

Warga yang mayoritas adalah para ibu itu mengeluhkan tentang sulitnya mengurus akta kelahiran bagi anak-anak mereka.

Penyebabnya bermacam-macam yakni ada yang karena tidak memiliki buku nikah sebab menikah siri, tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) atau tidak memiliki surat kelahiran yang dikeluarkan bidan, puskesmas atau rumah sakit (RS) setempat.

"Hampir 70 persen warga di sekitar saya tidak memiliki akta kelahiran untuk anak-anaknya," kata Santi.

Ia mengatakan selama ini tidak memiliki buku nikah karena sebelumnya ia telah menikah secara siri. Menurut dia, banyak keluarga yang sebelumnya juga menyepelekan tentang akte kelahiran.

Perwakilan Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal (LAPAM) Fitriani Sunarto mengatakan ada 157 anak di tiga kelurahan itu yang tidak memiliki akta kelahiran.

Ia mengatakan pula salah satu persoalan yang membuat anak tidak memiliki akta kelahiran adalah warga banyak yang tidak mampu untuk menyumbang pohon dalam program satu jiwa satu pohon (sajisapo).

"Mereka terkena pungutan yang mengatasnamakan program Sajisapo," kata Fitriani.

Di sisi lain perempuan ini juga menyatakan kendala tak kalah sulitnya adalah beberapa anak-anak saat lahir ditangani oleh dukun beranak. Padahal dukun beranak tidak bisa mengeluarkan surat keterangan kelahiran.

Meskipun dukun berani mengeluarkan surat pernyataan, pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) Kota Surabaya tidak bisa menerima surat itu.

Sementara itu, Kepala Dispenduk Capil Kota Surabaya Kartika Indrayana mengatakan pihaknya hanya bisa bertindak sesuai norma hukum. Ia menegaskan tidak berani keluar dari aturan.

"Bisa-bisa kalau ada masalah hukum, kami yang kena," katanya.

Ia juga menolak untuk memberikan kebijakan. Menurut Kartika, keterangan dukun memang tidak bisa, sebab sesuai perda yang diatur adalah surat keterangan dari bidan, puskesmas atau RS.

"Kami tidak bisa memberikan kebijakan hanya karena dasar kasihan," ujarnya.

Susahnya Mengurus Akte kKelahiran

Duh, Susahnya Mengurus Akte Kelahiran
Selasa, 6 Juli 2010 | 17:19 WIB
IGN Sawabi
Ilustrasi

SURABAYA, KOMPAS.com - Puluhan warga di tiga kelurahan, yakni Kelurahan Simolawang, Ujung dan Sidodadi yang berada di Kecamatan Simokerto, Kota Surabaya, Selasa (6/7/2010) mengadu ke DPRD Surabaya karena merasa dipersulit saat mengurus akta kelahiran.

Salah seorang warga Kelurahan Simolawang, Kecamatan Simokerto, Santi, mengaku hingga saat ini tiga anaknya belum memiliki akta kelahiran sehingga sulit untuk memasukkan anaknya ke sekolah negeri.

"Anak pertama saya sekolah di swasta, jadi tidak ada masalah. Tapi kalau saya mau menyekolahkan anak saya yang lain ke sekolah negeri itu yang menjadi masalah," kata Santi.

Warga yang mayoritas adalah para ibu itu mengeluhkan tentang sulitnya mengurus akta kelahiran bagi anak-anak mereka.

Penyebabnya bermacam-macam yakni ada yang karena tidak memiliki buku nikah sebab menikah siri, tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) atau tidak memiliki surat kelahiran yang dikeluarkan bidan, puskesmas atau rumah sakit (RS) setempat.

"Hampir 70 persen warga di sekitar saya tidak memiliki akta kelahiran untuk anak-anaknya," kata Santi.

Ia mengatakan selama ini tidak memiliki buku nikah karena sebelumnya ia telah menikah secara siri. Menurut dia, banyak keluarga yang sebelumnya juga menyepelekan tentang akte kelahiran.

Perwakilan Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal (LAPAM) Fitriani Sunarto mengatakan ada 157 anak di tiga kelurahan itu yang tidak memiliki akta kelahiran.

Ia mengatakan pula salah satu persoalan yang membuat anak tidak memiliki akta kelahiran adalah warga banyak yang tidak mampu untuk menyumbang pohon dalam program satu jiwa satu pohon (sajisapo).

"Mereka terkena pungutan yang mengatasnamakan program Sajisapo," kata Fitriani.

Di sisi lain perempuan ini juga menyatakan kendala tak kalah sulitnya adalah beberapa anak-anak saat lahir ditangani oleh dukun beranak. Padahal dukun beranak tidak bisa mengeluarkan surat keterangan kelahiran.

Meskipun dukun berani mengeluarkan surat pernyataan, pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) Kota Surabaya tidak bisa menerima surat itu.

Sementara iitu, Kepala Dispenduk Capil Kota Surabaya Kartika Indrayana mengatakan pihaknya hanya bisa bertindak sesuai norma hukum. Ia menegaskan tidak berani keluar dari aturan.

"Bisa-bisa kalau ada masalah hukum, kami yang kena," katanya.

Ia juga menolak untuk memberikan kebijakan. Menurut Kartika, keterangan dukun memang tidak bisa, sebab sesuai perda yang diatur adalah surat keterangan dari bidan, puskesmas atau RS.

"Kami tidak bisa memberikan kebijakan hanya karena dasar kasihan," ujarnya.

Thursday, April 15, 2010

BAHAYA PLAYSTATION BAGI PERKEMABNGAN ANAK

BAHAYA PLAYSTATION BAGI ANAK.

Munculnya puluhan, bahkan ratusan rental mesin fantasi perlu mendapat perhatian serius. Gimana nggak, mesin fantasi yang bikin pemainnya terpesona bahkan terkesima dengan adegan-adegan dan gambar-gambar yang berhasil ditampilkannya mampu mencipta ekses baru. Setidaknya, bakal menciptakan suasana baru yang sangat berbahaya bagi perkembangan anak-anak. Nggak percaya? Hampir seratus persen yang antri nunggu giliran main di rental-rental PlayStation adalah anak-anak SD dan SMP.

Bagi sebagian masyarakat dan orangtua, kegemaran anak terhadap PlayStation dianggap untuk mengisi waktu, meningkatkan ketrampilan dan konsentrasi anak. Bahkan ada yang beranggapan, anak lebih baik di PS daripada keluyuran, bermain tidak karuan atau berpanas-panasan. Namun sebenarnya, kalau dikaji lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya. Karena anak menjadi kurang sosialisasi dan perkembangan kecerdasan emosi menjadi terhambat.

Psikolog dari Klinik Tumbuh Kembang Anak RSUP Dr Sardjito, Dra Indria Laksmi Gamayanti mengatakan, sebenarnya latihan ketrampilan melalui PS tidak begitu besar. “Permainan di PS kan sudah diprogram, bukan merupakan tantangan untuk berkreasi, sehingga anak kurang terstimulasi perkembangan kreatifitasnya. Jadi, anak lebih baik bermain di lingkungan bebas yang kaya akan stimulasi,” kata Yanti.

Di sisi lain, kata Yanti, akan yang kecanduan PS sudah terbiasa dengan stimulasi yang bergerak, berwarna dan bercahaya serta bersuara. Akibatnya bila ada stimulasi lain yang intensitasnya lebih rendah, anak akan menjadi cuek. “Anak yang cuek, mudah marah, cenderung egosentris, tidak sabaran dan sembrono, itu karena anak kurang bersosialisasi. Dan kecanduan PS bisa membuat anak menjadi cuek, akibatnya sosialisasi yang kurang,” tambahnya. Selain itu, sinar elektromagnetik dari layar PS yang cukup lebar, bila terpancar terus menerus sangat berpengaruh terhadap kesehatan mata.

Bila ini dibiarkan terus menerus, anak akan mengalami gangguan pemusatan perhatian. Yanti mengatakan, dewasa ini, semakin banyak orangtua yang mengeluhkan anaknya mengalami gangguan pemusatan perhatian sehingga konsentrasi belajar menurun dan prestasi sekolah menjadi turun. Masalah lain yang juga mengkhawatirkan adalah, lingkungan di sekitar PS. karena tak jarang, PS menyatu dengan persewaan VCD, yang juga menyewakan VCD porno. Anak yang bermain PS, sengaja atau tidak, ikut melihat VCD yang dipertunjukkan bagi orang dewasa. Karena itu, menurut Yanti, pengusaha juga harus memiliki tanggung jawab moril.

Memiliki anak yang sudah kecanduan PS, memang repot. Sudah banyak orangtua yang mengeluh namun merasa tidak mampu mencegah, karena sudah sangat akrab dengan kehidupan anak sehari-hari. Mengingat banyaknya kerugian, menurut Yanti, PS sebenarnya juga merupakan bahaya laten yang kini belum disadari oleh masyarakat. Karena itu, sudah saatnya, PS yang makin menjamur ini ditata jam operasinya.

Political will dari pemerintah sangat diperlukan, begitu juga kerjasama antara orangtua, guru dan masyarakat serta pemerintah untuk mengatur dan menanggulangi dampak negatifnya,” kata Yanti. (KR)

Sunday, January 17, 2010

Tetap Laksanakan UN, Presiden Tak
Taat Hukum
Laporan: Persada Network

Minggu, 17 Januari 2010 | 14:44 WITA

JAKARTA, TRIBUN - Presiden SBY dinilai tak taat hukum jika tetap menggelar pelaksanaan ujian nasional (UN), Maret mendatang. Pasalnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diperkuat dengan putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan kasasi Mahkamah Agung mengabulkan gugatan forum guru dan Citizen law suit tentang ujian nasional dan menyatakan UN tidak sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).Pemerintah berdasarkan putusan-putusan hukum tersebut dihimbau untuk mengkaji ulang pelaksanaan UN sebagai dasar kelulusan siswa dalam sistem pendidikan nasional.

"Jika pemerintah tetap bersikukuh
melaksanakan itu (UN), seperti yang diungkapkan Presiden beberapa
waktu lalu, itu mengindikasikan pemerintah tidak taat hukum dan juga
anti kritik," tutur Yughe, peserta aksi yang sekaligus juru bicara
aliansi Pelajar dan Mahasiswa Tolak Ujian Nasional, di Jakarta, Minggu
(17/1).

UN, dikatakan Yughe tidak efektif dan ilmiah sebagai dasar
keberhasilan siswa menempuh pendidikan di jalur formal. UN juga
dinilai menghadirkan dampak psikologis yang buruk bagi anak didik
karena menyebabkan suasana belajar tidak nyaman dengan tekanan psikis
bahwa pendidikan yang mereka tempuh selama beberapa tahun, harus
ditentukan dalam tiga hari dalam suatu UN.

"Itu menimbulkan penyakit psikologis bagi anak dan bahkan dapayt
menimbulkan efek negatif yang berlebihan seperti bunuh diri atau
sebagainya. UN juga memicu tertanamnya jiwa-jiwa korupsi dini bagi
siswa sebagai generasi penerus bangsa karena mereka akan berusaha
melakukan berbagai cara menyimpang agar mereka dapat lulus. Seperti
misalnya membeli soal ujian dan jawaban ujian yang belum tentu benar
atau menjokikan diri," ujarnya.

Disisi lain, jalan keluar bagi siswa yang tidak lulus UN, yaitu dengan
mengulang kembali atau menempuh jalur ujian paket C, juga tidak dapat
memeberikan solusi. "Mengulang berarti mengharuskan siswa dan orang
tua murid mengelurkan kembali uang untuk mengulang dan atau ikut
ujian, yang itu tidak murah. Uang pemerintah untuk penyelenggaran UN
tersebut, yang berasal dari APBN juga terbuang percuma karena ujungnya
banyak siswa yang tidak dapat lulus. Sementara Paket C tidak dapat
digunakan siswa sebagai dasar mereka ikut serat Seleksi penerimaan di
Perguruan Tinggi, karena perguruan tinggi mayoritas tidak
menerimanya, " tambahnya.

Oleh karenanya, aliansi yang terdiri dari unsur forum guru,
masyarakat, pelajar dan front mahasiswa nasional menuntut pemerintah
untuk mentaati putusan hukum tersebut dengan menghapus UN. Pemerintah
juga dituntut untuk mencabut UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) karena
dianggap melenggangkan pelanggaran terhadapa hak anak atas pendidikan.

Mereka turun ke jalan dengan membawa spanduk dan bendera serta poster
yang diantaranya bertuliskan "UN ada SBY gagal". Yudhe mengungkapkan
aksi ratusan anggota mereka hari itu bukanlah aksi terakhir. "Kami
akan terus beraksi hingga akhirnya pada tanggal 28 Januari nanti saat
tepat 100 hari pemerintahan SBY. Kami juga akan memboikot UN yang akan
diselenggarakan pada 22 Maret mendatang, jika Presiden tetap
bersikukuh dengan sikapnya," tandasnya.

Aliansi Pelajar Demo Tolak UN di Bundaran HI


Minggu, 17 Januari 2010 - 11:02 wib- Yavet Ola Masan - Okezone
JAKARTA - Perlawanan terhadap kebijakan pemerintah menggelar ujian nasional yang sepihak dan semena-mena terus berlangsung.

Kali ini ratusan orang yang mengatasnamakan Aliansi Pelajar dan Masyarakat Tolak Ujian Nasional menggelar aksi unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Aliansi terdiri atas gabungan sejumlah organ seperti Ikatan Pelajar Muhammadiyah, LBH Jakarta, Lembaga Advokasi Anak Marginal LAPAM, Forum Guru Independen Indonesia, Gerakan Siswa Bersatu.

Dalam aksinya, massa meneriakkan yel-yel dan membentangkan sejumlah spanduk. Di antaranya beruliskan “No UN, Kami tidak takut UN Tapi Kami Takut sekolahku Runtuh dan Guruku Kelaparan, serta Tolak UN Sebagai Penentu Kelulusan Siswa.”

“Belum selayaknya pemerintah menggelar UN karena mereka hanya menempatkan stadarisasi tanpa memperhitungkan peningkatan sarana dan prasarana serta akses informasi yang masih belum merata. Kalau UN tetap terselengggara berarti itu ilegal,” tegas Koordinator Lapangan Demo, Virgo Sulianto (26) kepada wartawan di Jakarta, Minggu (17/1/2010).

Aksi yang dimulai sejak pukul 09.00 WIB tadi pagi berjalan tertib. Secara bergiliran beberapa perwakilan massa berorasi di depan teman-temannya. Sementara demonstran lain terus mengumandangkan kalimat hujatan terhadap kebijakan pemerintah sembari mengangkat tinggi-tinggi bendera yang dibawa.

Sementara, sejumlah demontran berdiri di tepi jalan dan membagikan selebaran pernyataan sikap serta bunga mawar kepada para pengguna jalan. Dalam aksi kali ini, massa meneriakkan tujuh poin tuntutan kepada pemerintah, yakni:
  • Penghapusan ujian nasional
  • Presiden, Wapres, dan Mendiknas selaku pemerintah harus taat hukum dengan menjalankan putusan pengadilan
  • Pemerintah wajib meninjau kembali sistem pendidikan nasional
  • Pemulihan trauma psikologis dan mental peserta didik usia anak
  • Jaminan atas hak anak untuk berekspresi berbicara dan didengar pendapatnya.
  • Cabut UU Badan Hukum Pendidikan, karena melangengkan pelanggaran terhadap hak anak atas pendidikan.
  • Memboikot ujian nasional.
(ful)
Minggu, 17/01/2010 10:25 WIB
Ratusan Orang Demo di Bundaran HI Tolak UN
Didi Syafirdi - detikNews

Jakarta - Ratusan orang dari Aliansi Pelajar dan Masyarakat Tolak Ujian Nasional (UN) menggelar aksi menolak Ujian Nasional (UN) di Bundaran Hotel Indonesia. Mereka meminta pemerintah menaati putusan Mahkamah Agung yang memenangkan pihak penggugat UN.

Dalam aksinya mereka membentangkan tiga spanduk berukuran 1x2 meter berwarna putih bertuliskan 'Ujian Nasional melanggar hak-hak anak, stop UN, patuhi hukum, jalankan putusan pengadilan, UN ilegal, melanggar HAM, boikot UN'. Mereka juga membawa bendera masing-amsing elemen.

Koordinator aksi, Virgo Suliyanto, meminta agar pemerintah menaati putusan pengadilan dengan tidak membuat standar kelulusan yang merugikan pelajar. Pemerintah harus menyiapkan sarana prasarana akses informasi kualitas guru yang merata di seluruh daerah.

"Kita harus tolak UN. Kembalikan kepada sekolah dan guru wewenang meluluskan pelajar," ujarnya di Bundaran HI, Minggu (17/1/2010).

Massa juga membagikan selebaran dan bunga mawar kepada para pengguna jalan. Arus lalu lintas tidak macet dengan adanya aksi ini.

Aksi dijaga sekitar 20 orang polisi. Aksi dimulai sekitar pukul 09.45 WIB dan hingga pukul 10.20 WIB aksi masih berlangsung.
(anw/nrl)