Wednesday, March 23, 2011

Ratusan Anak Jalanan Kerap Rasakan Kekerasan

Sabtu, 19 Maret 2011 09:24

Tampak anak-anak jalanan yang saban hari mengamen di perempatan trafic light di Surabaya.

Surabaya

HARIAN BANGSA

Berbekal tutup botol pipih yang dirangkai di atas sebuah kayu berukuran tak lebih dari 10 centimeter (cm), Rasid pengamen cilik yang biasa mangkal di seputar lampur merah Jl Pucang Anom, terlihat kusam. Siang itu, bocah umur belasan tahun tersebut tampak kepanasan seusai mengamen pada para pemilik kendaraan setiap kali lampu merah menyala.

''Siang saya harus berhenti, sebab ada kerjaan lain yakni cuci pakaian,'' ujar anak yang sempat mengenyam pendidikan SD meski hanya sampai kelas IV ini. Kesibukanya semata-mata untuk membantu orang tuanya memenuhi kebutuhan hidup bersama dua adiknya yang masih berusia belia.
Kepada HARIAN BANGSA, Rasid menuturkan selama menjalani kehidupan sebagai pengamen dirinya kerap menerima perlakuan tidak menyenangkan dari orang-orang di jalanan. ''Tapi saya maklum mas, namanya hidup di jalanan, ya seperti ini,'' ujar bocah yang meski masih belia sudah bisa berbicara layaknya orang dewasa tersebut. Tak hanya perlakuan tidak menyenangkan, pemerasan, eksploitasi juga kerap diterimanya lantaran mengetahui dirinya masih anak-anak.
Banyak kalangan menilai, tidak hanya Rasid yang mengalami nasib seperti itu ketika berada di jalanan. Namun, ratusan anak-anak jalanan juga kerap mengalami hal serupa. Untuk mengatasi hal tersebut, Badan Legislasi (Banleg) DPRD Surabaya menggagas pembuatan raperda inisiatif tentang perlindungan anak jalanan.
Banleg bahkan telah menyusun draf raperda tersebut, beserta kajian akademisnya. Bahkan raperda ini sudah siap diajukan untuk dibahas sebagai usulan dari DPRD sesuai tugas pokok fungsinya (tupoksi) yakni fungsi legislasi.
“Kami targetkan Mei nanti raperdanya sudah masuk untuk dibahas di pansus,” kata Ketua Banleg Tri Dididk Adiono, kemarin.
Tidak hanya itu, ia menyebutkan banleg juga sedang menyiapkan dua raperda lainnya untuk diajukan. Yakni raperda pelayanan publik dan pengelolaan sampah terpadu. Namun khusus untuk dua raperda itu, targetnya berbeda yakni Juli 2011 mendatang. Ia menerangkan dua raperda ini sedang disusun, termasuk kajian akademisnya yang penyusunannya bekerja sama dengan Universitas Airlangga (Unair).
“Pokoknya tahun ini kita targetkan tiga raperda inisiatif harus disahkan menjadi perda. Kami yakin target ini gol,” tegas dia.
Tri Didik menjelaskan, latar belakang pembentukan raperda tersebut berbeda-beda. Untuk raperda perlindungan anak, masyarakat harus ikut melindungi dan memenuhi hak anak. Hal ini sudah diatur dalam konvensi hak anak PBB yang diratifikasi dan UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 59.
Anggota Komisi A ini menerangkan tanpa perlindungan, anak rawan dan rentan diperlakukan salah. Serta menjadi korban kekerasan dan eksploitasi.
“Karena itu perlu aturan sebagai pedoman prilaku yang tidak merugikan anak,” ujarnya.(maulana).http://www.harianbangsa.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5401:ratusan-anak-jalanan-kerap-rasakan-kekerasan-&catid=50:hukum-kriminalitas&Itemid=66

Wednesday, March 16, 2011

50% Dana RSBI Disalahgunakan

Senin, 14 Maret 2011 - 10:18 wib

Ilustrasi: ist.

Ilustrasi: ist.

JAKARTA – Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menemukan penyimpangan penggunaan anggaran oleh Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Bahkan, 50 persen anggaran di RSBI telah disalahgunakan.

Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal mengungkapkan, RSBI menerima anggaran dari pemerintah pusat, provinsi, dan pungutan dari orang tua siswa. Namun, anggaran tersebut tidak digunakan sesuai ketentuan pemerintah, yakni untuk peningkatan mutu dalam proses belajar mengajar serta kualitas tenaga pengajar. Ini dengan tujuan agar siswa yang bersekolah di RSBI menjadi siswa yang lebih berkualitas dibanding sekolah nasional.

Sesuai evaluasi yang dilakukan beberapa waktu lalu, RSBI menggunakan dana tersebut untuk memperbaiki ruangan kelas, membangun laboratorium, memasang air conditioner, dan memasang pagar atau gerbang sekolah untuk mempercantik tampak luar gedung dibandingkan mutu pengajaran. “Padahal dana untuk fisik itu tidak bertepi. Kami berharap uang itu dipakai untuk mutu, baru fisik. Itu pun harus dipilih dulu apa saja yang sangat penting untuk diperbaiki,” papar Fasli di Jakarta kemarin.

Dia mengungkapkan, penyalahgunaan dana paling banyak terjadi di tingkat sekolah menengah atas (SMA). Hasil evaluasi menemukan bahwa penyalahgunaan dana di tingkat sekolah dasar (SD) hanya mencapai 25 persen. Karena itu, Kemendiknas akan menerbitkan peraturan menteri (permen) untuk memperketat pemakaian dana di RSBI. Fasli menyatakan, evaluasi tentang dana ini menjadi fokus utama Kemendiknas. Sebab, hasil evaluasi menyebut mutu yang diciptakan RSBI ini sudah baik walau belum secepat yang diharapkan.

Namun, perbaikan juga akan diutamakan bagi tenaga pengajar di sekolah khusus ini. Pasalnya, kualitas guru dalam berbahasa Inggris di sekolah yang syarat wajibnya adalah mampu berbahasa Inggris ini masih minim. “Kami juga akan memberikan kesempatan untuk memakai dua bahasa daripada hanya memakai bahasa Inggris,” tandasnya.

Evaluasi yang dilakukan Kemendiknas ini mencakup empat hal, yakni mutu, tata cara penerimaan murid baru, pungutan biaya dari orang tua, serta kesiapan sumber daya manusia (SDM). Menurut dia, saat ini ada sekira 1.300 sekolah RSBI. Jika permen sudah selesai disusun dan disahkan, akan diketahui sekolah yang akan dikembalikan ke status biasa, sebagian diberi peringatan untuk memperbaiki diri, serta sekolah RSBI yang sudah siap maju menjadi SBI.

Mantan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendiknas ini menyatakan, masih memerlukan waktu lama hingga lahirnya permen baru dan perubahan status RSBI menjadi SBI ini. Karena itu, untuk sementara waktu, izin penyelenggaraan RSBI baru akan ditangguhkan.

Fasli mengatakan, RSBI dan SBI tetap diperlukan dalam dunia pendidikan. Pasalnya, ini adalah amanat Undang-Undang (UU) Sisdiknas yang mewajibkan pemerintah mengembangkan satu sekolah bertaraf internasional di setiap jenjang di satu kabupaten/ kota. “Namun, di dalam perjalanannya, kami memang harus mengevaluasi empat hal tersebut,” ungkapnya.

Anggota Komisi X DPR Tubagus Dedy Gumelar menilai, pembenahan RSBI sebenarnya tergantung kemauan politik dari pemerintah. Jika Kemendiknas memiliki kemauan politik untuk membereskan RSBI dan SBI yang sering membebani masyarakat dengan tarif tinggi, tidak memerlukan waktu lama agar permen yang baru itu terbit.Meski demikian, Dedy mengaku setuju dengan langkah Kemendiknas yang menangguhkan pengajuan izin baru penyelenggaraan RSBI.

Dedy berpendapat penyalahgunaan dana terjadi karena tidak ada pengawasan dan sikap tegas dari Kemendiknas. Dia juga mempertanyakan ada apa dengan Kemendiknas sehingga membiarkan sekian lama praktek tersebut terjadi hingga masalah di RSBI diberitakan di media nasional. “Perintah undang-undang memang mengamanatkan demikian. Namun, jika tidak diawasi namanya menyalahgunakan undang–undang juga,” kritiknya.

Sementara itu, peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Febri Hendri menilai, penyataan Wamendiknas Fasli Jalal tersebut membuat Kemendiknas lebih progresif dalam evaluasi RSBI.

Senada dengan Fasli, Febri mengaku ICW juga menemukan penyimpangan anggaran di sekolah menuju standar internasional tersebut. “Dari data kami, temuan penyimpangan sekira 40 persen dari jumlah dana yang didapatkan,” ungkapnya.

Menurut Febri, modus penyimpangan yang sering dilakukan adalah double budget (anggaran ganda). Hal ini, misalnya, dana yang didapatkan dari pemerintah tidak digunakan untuk kegiatan A. Namun, dana kegiatan A tersebut didapatkan dari pungutan orang tua siswa. “Dari pemerintah tidak dipakai, tapi diambil dari masyarakat,” tuturnya.

Koordinator Koalisi Pendidikan Lody Paat berpendapat, dari awalnya perencanaan RSBI ini sudah salah. Ini mulai dari substansi pendidikan hingga keuangan. “Bagaimana mungkin suatu sekolah negeri yang seharusnya dibiayai penuh oleh negara justru membebankan 50 persen biaya operasional kepada masyarakat?” tanyanya. (neneng zubaidah/sindo) (rfa) (//rhs)

http://kampus.okezone.com/read/2011/03/14/373/434539/373/50-dana-rsbi-disalahgunakan

Monday, March 14, 2011

Lagi, Orangtua Harus Rogoh Sakunya

MAGELANG, KOMPAS.com — Sejumlah sekolah di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bersiap menghadapi ujian nasional. Orangtua siswa harus mengeluarkan biaya untuk pelajaran tambahan dan tes uji coba.

Kepala SMA Muhammadiyah I Muntilan Yanto Siswoyo mengaku, setiap siswa wajib membayar Rp 700.000 per orang. Itu untuk membiayai pelajaran tambahan, tes uji coba, mendukung kebutuhan pelaksanaan UN, hingga mengantarkan hasil UN ke rumah masing-masing siswa. Penarikan tambahan biaya untuk persiapan UN itu rutin setiap tahun.

"Orangtua murid tak mempersoalkan karena besaran uang sudah kami diskusikan dan disepakati," kata Yanto, Senin (14/3/2011).

Hal yang sama dilakukan di SMK Muhammadiyah Borobudur. Kepala SMK Muhammadiyah Borobudur Hidayatul Laili mengatakan, biaya tambahan itu dibayar dengan mencicil, yang disebut tabungan siswa. Besaran biaya UN tak disebutkannya.

Tambahan uang dari wali murid diperlukan sekolah karena kegiatan menyiapkan siswa mengikuti UN sangat banyak. Segala kegiatan itu tak dibantu pemerintah.

"Pemerintah biasanya hanya membantu dana pelaksanaan UN. Itu pun tak semua kebutuhan siswa dapat tercukupi dari dana bantuan itu," ujar Hidayatul.

Jumlah peserta UN dari SMK Muhammadiyah Borobudur kali ini mencapai 212 siswa. Ketua Tim Sukses UN SMP Negeri 1 Muntilan Nur Wasiyati mengatakan, sekalipun mendapatkan dana bantuan operasional sekolah (BOS), SMP Negeri 1 Muntilan, yang berstatus sebagai rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), tetap butuh tambahan dana persiapan UN.

Tambahan uang itu diambilkan dari uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) dan tabungan siswa, yang ditetapkan Rp 25.000 per orang dan Rp 10.000 per orang. (EGI)

http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/15/11074077/Lagi.Orangtua.Harus.Rogoh.Sakunya

Thursday, March 10, 2011

Akhirnya... Izin Baru RSBI Distop!

JAKARTA, KOMPAS.com
http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/10/11202738/Akhirnya.Izin.Baru.RSBI.Distop

Pemerintah menghentikan pemberian izin baru rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) mulai 2011. Pemerintah sedang mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK berstatus RSBI yang izinnya diberikan pada 2006-2010.

"Ternyata sekolah bertaraf internasional tidak sederhana. Ini perjalanan panjang yang wajahnya sampai sekarang belum jelas. Karena itu, kami belum berani menyebut sekolah bertaraf internasional (SBI), tetapi masih rintisan SBI. Untuk itu, pemerintah menahan dulu pemberian izin baru RSBI," kata Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, dalam acara "Simposium Sistem RSBI/SBI: Kebijakan dan Pelaksanaan" yang dilaksanakan British Council di Jakarta, Rabu (9/3/2011).

Pemerintah juga sedang menyiapkan aturan baru soal standar SBI di Indonesia. Fasli mengatakan, dari kajian sementara, pendanaan RSBI sebagian besar ditanggung orangtua dan pemerintah pusat. Dukungan pendanaan dari pemerintah daerah justru minim.

RSBI pun sebagian besar siswanya dari kalangan kaya. Ini disebabkan biaya masuk untuk SMP dan SMA RSBI yang relatif mahal, berkisar Rp 15 juta dan uang sekolah sekitar Rp 450.000 per bulan.

Di sisi lain, alokasi 20 persen untuk siswa miskin yang mendapat beasiswa juga tidak dipenuhi RSBI. Dari kajian sementara juga terungkap, dana yang dimiliki RSBI sekitar 50 persennya dialokasikan untuk sarana dan prasarana, sekitar 20 persen untuk pengembangan dan kesejahteraan guru, serta manajemen sekolah berkisar 10 persen.

Adapun soal kemampuan bahasa Inggris guru juga masih belum memadai. Kajian pada tahun 2008, sekitar 50 persen guru di RSBI ada di level notice (10-250). Sementara untuk guru Matematika dan Sains kemampuan di level terendah notice dan elementary. Hanya kemampuan guru pengajar bahasa Inggris di RSBI yang memenuhi syarat di level intermediate ke atas. Kemampuan bahasa Inggris kepala sekolah RSBI sekitar 51 persen berada di level terendah.

Fasli mengatakan, SBI bukanlah tujuan akhir.

"Jadi, tidak ada target Indonesia mesti punya berapa banyak SBI. Kami memfasilitasi sekolah untuk jadi RSBI dan SBI karena itu amanat UU Sistem Pendidikan Nasional. Tetapi, tentu nanti dibuat aturannya yang lebih baik lagi," katanya. (ELN)

Monday, March 7, 2011

Daerah Wajib Tutupi Kekurangan Dana BOS

http://www.jpnn.com/read/2010/12/28/80647/Daerah-Wajib-Tutupi-Kekurangan-Dana-BOS-


Daerah Wajib Tutupi Kekurangan Dana BOS

JAKARTA--Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kemdiknas Suyanto, meminta pemerintah daerah memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah daerah (BOSDA) kepada seluruh sekolah di setiap provinsi, kabupaten/kota. Suyanto menjelaskan, dana BOSDA tersebut adalah sebagai dana tambahan BOS dari pemerintah pusat.

Suyanto menyebutkan, total biaya operasional di tingkat SD mencapai Rp 580 ribu per siswa per tahun, sedangkan untuk jenjang SMP sebanyak Rp 710 ribu per siswa per tahun. Sementara, BOS yang disalurkan pemerintah pusat untuk SD hanya Rp 397 ribu per siswa per tahun dan SMP Rp 570 ribu per siswa per tahun. Dari jumlah tersebut berarti dana BOS baru dapat memenuhi biaya sebesar 68,4 persen di SD dan SMP sejumlah 80,3 persen. Dengan kata lain, Pemda masih harus menutupi kekurangan standar biaya operasional sekolah sebesar 31,6 persen di SD dan SMP sejumlah 19,7 persen.

"Pemerintah daerah wajib menutupi kekurangan 50 persen untuk biaya operasional ditingkat SD dan SMP," terang Suyanto ketika ditemui usai membuka acara Sosialisasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2011 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (28/12) malam.

Suyanto juga memahami jika tidak semua daerah dapat menyediakan dana BOSDA. Namun, terang Suyanto, manfaat pemerintah daerah dalam menyediakan BOS daerah tersebut selain dapat menutupi kekurangan juga dapat memunculkan rasa memiliki terhadap program ini.

"Tetapi di sini perlu diingat, dengan adanya pengalihan penyaluran dana BOS ke daerah bukan sebagai pengganti kewajiban daerah menyediakan dana BOS. Melainkan untuk memenuhi amanat dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mewajibkan masing-masing daerah untuk memberikan 20 persen dana untuk pendidikan dari APBD masing-masing daerah," tukasnya.

Disinggung mengenai upaya monitoring penyaluran dana BOS dan BOSDA masing-masing daerah, Kemdiknas akan diminta laporan pemakaian secara periodik. "Selain itu, Kemdiknas juga akan bekerjasama dengan inspektorat daerah agar pemakaian biaya operasional yang mencapai Rp16 triliun juga tidak rawan dikorupsi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab," imbuhnya. (cha/jpnn)